Sejarah

SEJARAH BOVEN DIGOEL

Sejarah wilayah Boven Digoel tidak bisa dilepaskan dari kolonialisasi Hindia Belanda di Indonesia. Nama Boven Digoel yang berarti, Digoel bagian atas atau hulu ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan Sungai Digoel di Papua bagian selatan. Boven Digoel dibangun pada tahun 1927 sebagai tempat pembuangan dalam negeri atau interneeringskamp bagi tokoh-tokoh bumi putera yang dianggap berbahaya bagi pemerintah Hindia Belanda.

Tokoh bumi putera yang terakhir dibuang ke luar negeri adalah Semaun dan Darsono yang memimpin pemogokan umum buruh pada tahun 1923. Boven Digoel dibangun untuk penampung tokoh-tokoh bumi putera yang dianggap terlibat dalam “Pemberontakan November 1926” yang dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) serta tokoh-tokoh perlawanan berbasis agama dan politik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Tokoh-tokoh pergerakan yang pernah dibuang di Boven Digoel ini antara lain adalah : Sayuti Melik (1927-1938), Hatta (1935-1936), Sutan Sjahrir dan Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub (tokoh PERMI dan PSII Minangkabau), serta Mas Marco Kartodikromo yang wafat dan dimakamkan di Digoel pada tahun 1935.

Gambar diatas menerangkan kepada kita bahwa rombongan tawanan yang baru saja datang dari Jawa dengan menggunakan kapal “Fomalhout”, “Segah” dan “Reteh” dengan rute pelayaran Surabaya-Makasar-Ambon. Tampak orang-orang buangan berada di pelabuhan Muara Digoel dan bersiap untuk diberangkatkan menuju kamp konsentrasi Boven Digoel dengan menggunakan perahu-perahu motor. Area kamp konsentrasi sebagai tempat pembuangan (interneeringskamp) dibangun pada tanggal 27 Januari 1927 oleh Kapten Infanteri L. Th. Becking dengan mengambil lokasi di tepi Sungai Digoel, di mana kemudian dikenal sebagai Tanah Merah. Kamp konsentrasi di Tanah Merah ini dibangun oleh geinterneerden (orang-orang buangan) yang datang pertama di Boven Digoel.

Pada awalnya geinterneerden tersebut tinggal di 14 los (rumah darurat) yang masing-masing mempunyai panjang sekitar 30 meter dengan atap rumbia. Para geinterneerden yang membawa anak-isteri tinggal dalam los yang sama, sedang para geinterneerden yang bujangan dikumpulkan pada los yang lain. Selain 14 los untuk tempat tinggal bagi geinterneerden, terdapat 1 los yang diperuntukan sebagai dapur umum.

Para geinterneerden yang datang pertama tersebut kemudian membangun perkampungan yang disebut sebagai Kampung A. Para geinterneerden yang terus berdatangan mendorong munculnya kampung-kampung yang lain yang diberi nama Kampung B, Kampung C, Kampung D, Kampung E, Kampung F dan Kampung G yang semakin menjauh ke atas dari tepian sungai. Rumah-rumah yang lebih permanen dibangun dengan atap dari seng, dinding dari kayu nibung dan berlantai tanah. Permukiman geinterneerden diberi batas, di titik-titik tertentu yang berbatasan dengan hutan terdapat pos penjagaan.

Pada Tahun 1928 – 1944, Tanah Merah mengalami perubahan dan perkembangan signifikan. Dapat dikategorikan sebagai “kota modern” namun tetap saja merupakan tempat yang terisolasi dari kehidupan luar. Demikian adanya karena satu-satunya “pintu masuk keluar” hanya melalui Sungai Digoel. Hal lain juga keadaan Kota Tanah Merah disaaat itu sama seperti kota-kota lain di Indonesia yang tumbuh dan berkembang awal abad ke-20. Dari aspek tata kota belum tampak adanya perencanaan.

Pasca kamp ditutup, Tanah Merah menjadi kota mati, akibatnya Tanah Merah mengalami kemunduran yang cukup serius . Untuk membangunnya kembali, pemerintah kolonial dan pihak Misi harus memberikan “tekanan halus” dan mendesak mereka untuk kembali dan membangun permukiman yang lebih baik atau secara permanen.

Pada Tahun 1945 – 1969, transisi dari Kota Penjara menjadi pusat pemerintahan, Jepang berhasil menguasai sebagian wilayah Irian Barat. Aktivitas tentara jepang serta sambutan spontan penghuni camp menyebabkan pemerintah kolonial Belanda harus berpikir dan bertindak cepat untuk memindahkan interiran ke tempat lain yang lebih aman dari “ciuman” tentara jepang. Pemerintah Belanda takut tentara jepang akan membebaskan para interniran ini, maka diputuskan untuk menutup kamp sama sekali dan mengungsikan semua interniran ke Australia, Porses evakuasi kaum interniran dilakukan dan dipimpin oleh Ch.O.Van der Plas, kemudian kamp ditutup pada tahun 1943.

Periode 1970 – 2023, Tanah Merah adalah ibu kota kecamatan Digoel Atas. Wilayah ini berada dibawah administrasi Pemerintahan Kabupaten Daearah Tingkat II Merauke dan di aliran sungai digoel terdapat beberapa kecamatan.

Pada Tahun 2021 sebutan kecamatan berubah menjadi distrik didasarkan atas pemberlakuan Undang-undang No.21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemberlakuan Undang-undang tersebut oleh masyarakat telah menekpresikan aspiranya dalam bidang untuk pembentukan kabupaten baru.

Tanah Merah resmi menjadi ibukota Kabupaten Boven Digoel pada tanggal 11 Desember tahun 2023 berdasarkan Undang-undang No.26 Tahun 2022. Dan hingga kini Kabupaten Boven Digoel memiliki 20 Distrik dan 112 Kampung yang tersebar di Wilayah kabupaten Boven Digoel.